Qur’an Ustmani

Pada mulanya Al Qur’an tidak dibukukan seperti saat ini. Melainkan hanya dihafalkan dan dituliskan dalam lembaran-lembaran pelepah daun kurma. Hal ini berlangsung sampai dengan Rosululloh wafat. Namun pada masa kekhalifahan Abu Bakar, jumlah penghafal qur’an semakin berkurang karena banyaknya sahabat yang gugur di medan perang.
Dalam kondisi tersebut, Umar bin Khatab mengusulkan untuk mengumpulkan bagian-bagian Al qur’an yg dituliskan pada pelepah daun kurma yang saat itu masih terpisah-pisah. Mulanya Abu Bakar menolak usul tersebut, dengan alasan pada zaman nabi masih hidup hal tersebut tidak pernah dilakukan. Hal ini mencerminkan kesungguhan khalifah Abu Bakar dalam menjaga kemurnian ajaran Islam. Namun setelah diyakinkan, Abu Bakar kemudian menyetujui usul tersebut. Bagian-bagian Al Quran yg semula disimpan beberapa orang kemudian disatukan menjadi satu kesatuan yang utuh.
Pada masa khalifah Ustman bin Affan, kekuasaan Islam telah menyebar dengan luas. Hal ini menyebabkan Al Quran dibaca dengan dialek yg berbed pada masing-masing daerah. Karena Ketidakseragaman bacaan tersebut, Ustman bin Affan yang saat itu telah menjabat sebagai khalifah berinisiatif untuk melakukan standarisasi. Maka dibentuklah sautu tim yang terdiri dari sahabat-sahabat penghafal dan penulis Al Quran yang bertugas menyusun Al Quran dengan bacaan sebagaimana diajarkan oleh Nabi Muhammad. Jika terjadi perbedaan pendapat tentang suatu ayat, maka dialek yang digunakan adalah dialek Arab Quraisy, karena dengan cara tersebutlah Al Quran diturunkan. Al Quran yang telah terstandarisasi tersebutlah yang sekarang kita gunakan. Al Quran juga dikenal dengan sebutan Al Quran Ustmani, karena disusun pada periode kekhalifahan Ustman bin Affan.

gadis langit dan lelaki bumi

Aku gadis langit yang menikahi lelaki bumi. Aku jatuh cinta padanya sudah sejak mula-mula. Entah kenapa, mungkin karena aku dan dia beda dunia.

Aku gadis langit yang menikahi lelaki bumi. Setalah menikah ia mengajakku terus berlari. Di atas ujung runcing kerikil yang membuat kakiku nyeri. Aku bilang padanya : “sakit”, berharap dia menggendongku sampai di tepi. Tapi dia hanya bilang : “tahan saja, lama-lama kau akan terbiasa.”

Aku gadis langit yang menikahi lelaki bumi. Padanya aku bercerita tentang pelangi, tentang ujung lengkungnya yang menyimpan misteri. Tentang larik warnanya yang berotasi membentuk mentari. Tapi dia hanya bilang : “aku tak suka pelangi, ia hilang saat gerimis pergi.”

Aku gadis langit yang menikahi lelaki bumi. Dalam remang senja kami bertengkar hebat. Dia tak suka jika aku terlalu lama mengangkasa, katanya awan yang kupijak terlalu rapuh dan ia takut aku terjatuh. Tapi aku tak peduli, aku hanya ingin melihat lebih tinggi. Menatapi gunung-gunung yang berubah jadi manik-manik. Hanya dari diketinggian aku melihat segalanya jadi mungkin. Dari bumi tempatnya berpijak, bagiku semua terlihat besar dan menakutkan. Kami saling berteriak, merobek senja dengan kerasnya perdebatan. “Aku ingin ke surga” kataku bersikukuh, “Dan ia hanya ada di langit, bagaimana aku bisa ke sana jika aku terus menapak bumi?”.

Aku gadis langit yang menikahi lelaki bumi. Subuh merayap naik dan aku masih saja melayang bersama mimpi. Hanya gaduh yang kemudian membuatku terjaga penuh. Di luar lelakiku telah bermandi peluh. “Sedang apa ?” tanyaku ingin tahu. “Membuat batu bata.” Jawabnya datar seperti biasa.

Aku gadis langit yang menikahi lelaki bumi. Sejak saat itu dia mengajariku membuat batu bata. Benda coklat empat persegi yang bentuknya biasa saja. Kami berpeluh sejak mentari muncul hingga menggenapkan putarannya. Jari-jariku coklat membatu, sedang bahu dan leherku mulai kaku.”Aku jenuh” keluhku. Tapi dia hanya bilang : “teruskan saja, lama-lama kau akan terbiasa”.

Aku gadis langit yang menikahi lelaki bumi. Sudah tiga purnama kami terus membuat batu bata. Tumpukan tingginya sekarang sudah mencapai batas cakrawala. Sudah tiga ratus kali aku merajuk padanya, memohon semua ini disudahi, tapi ia terus bergeming seolah tak mau mengerti. ” Sampai kapan kita terus seperti ini ?” tanyaku di ujung hari. “Sampai cukup batu bata untuk membuat tangga”. “Untuk apa tangga?” tanyaku tak jua mengerti. ” Untuk membawamu ke surga.” jawabnya lirih membuat dadaku perih.

Aku gadis langit yang menikahi lelaki bumi. Aku jatuh cinta padanya sudah sejak mula-mula. Dan aku mulai mengerti kenapa. Karena aku tahu dia luar biasa dalam pemikirannya yang sederhana.

When I am afraid

Saat saya takut, saya lari. Dengan beragam pembenaran yang disusun dengan rapi. Pembenaran untuk tetap menjadi penonton yang duduk di tepi. Mengolok dengan kencang, bersorak dengan riang, merasa bangga tanpa harus terluka.
Saat saya takut, saya bersembunyi. Di dalam lorong sempit bernama ‘nanti’. Saat segala bisa ditunda atas nama persiapan yang lebih mumpuni. Walau sejujurnya ‘tak siap’ hanyalah aleorasi dari diri yang tak berani.
Saya saya takut, saya pura-pura berani. Berteriak kencang, membusungkan dada dan menghardik setiap orang. Merancang beragam ilusi agar tak ada yang mampu melihat gemetarnya jiwa yang kerdil.
Tapi suatu hari, ketakutan datang menempuk punggung saya. Dan dengan lembut ia berkata : “aku hanyalah sebentuk rasa bernama takut, kenapa kamu terus pergi menjauh. Gemgamlah tanganku dan akui keberadaanku, karena aku hanyalah bagian dari dirimu”.
Punggung saya meremang dan telinga saya bergetar. Namun hidup terus melaju. Pun ketika saat saya takut. Maka sejak saat itu saya putuskan untuk terus hidup, meskipun takut. Dengan sebenar-benarnya hidup. Dengan segala yang harus dihadapi saat ini (bukan nanti).

baik #selftalk

Setiap kita jika jadi bos, pastinya ingin punya anak buah yang baik. Jika jadi karyawan, pasti ingin punya bos yang baik.

Setiap kita pasti ingin punya teman yang baik, orang tua yang baik, kakak yang baik, adik yang baik, keluarga yang baik, pasangan yang baik, anak yang baik, tetangga yang baik.

Setiap kita jika masuk toilet umum, berharap toiletnya bersih hasil kerja penjaga toilet yang baik. Jika ingin parkir kendaraan, berharap tempat parkirnya rapi dan petugas parkirnya baik.

Setiap kita selalu berharap mendapat pelayanan yang baik oleh para petugas bank, petugas pemerintahan, petugas pos, kasir swalayan atau petugas anjungan-anjungan pelayanan lainnya.

Setiap kita selalu ingin mendapatkan guru dan pemimpin yang baik, ingin dilindungi oleh aparat humu yang baik, ingin bertransaksi dengan pedagang yang baik.

Setiap kita selalu ingin mendapatkan hal yang baik, tapi herannya mengapa kita seringkali enggan untuk menjadi baik.

Bukan masalah apa jenis peran dan profesinya. Tapi menjadi baik dinanti oleh setiap pribadi setiap harinya.

Semoga menjadi motivasi bagi diri sendiri.

Etika dalam Menjawab

Menjawab itu harus beretika. Dan etika pertama dalam menjawab adalah jawaban harus sesuai dengan pertanyaannya. Kalau pertanyaannya “Siapa presiden Indonesia sekarang ?” Maka jangan dijawab ” sayur rebung” itu sungguh sangat tidak nyambung.

Sayangnya, kita ini manusia yang sifat dasarnya suka tergesa-gesa. Atas nama kecepatan seringkali kita mengabaikan ketepatan. Maka jadilah yang selama ini sering terjadi, dialog dua arah yang berlangsung tanpa arah. Dua orang/kelompok yang berdebat hebat (yang lucunya) bukan karena tidak sevisi, tapi hanya karena berbeda diksi. Andai saja mereka bersedia untuk sejenak mendengar (dalam arti yang sebenarnya) dan mau mencermati pendapat yang lain dengan sepenuh hati. Pastinya mereka akan menyadari bahwa pendapat mereka pada dasarnya sama, hanya saja penyampaiannya yang berbeda.

Maka sebelum menjawab, bacalah soalnya dengan cermat. Apa yang sebenarnya yang ditanyakan dan bagaimana peraturan dalam menjawabnya, apa disilang, dilingkari, dijawab singkat, atau malah tidak perlu dijawab. Tidak usah grusa grusu atau sok tahu. Itu baru namanya menjawab dengan effektif. Setiap tenaga yang keluar tidak sia-sia. Pun begitu dalam hidup, jawablah setiap soalan yang muncul dengan jawaban yang tepat. Tidak usah grusa-grusu dalam menanggapi segala sesuatu. Teliti, cermati, pahami apa sebenarnya yang ditanyakan oleh Sang Pembuat Soal. Tidak usah terburu nafsu, karena kalo salah membaca soal, usaha untuk menjawab sehebat apa pun akan sia-sia.

Jangan seperti saya, barus sadar jika saya hanya perlu menjawab 6 dari 9 soal, setelah larik-larik jawaban -hasil kerja tangan kanan yg pegal-pegal- di kumpulkan.

Tunggu Sebentar

“Tunggu sebentar,,” katamu tanpa suara “aku sedang ingin marah”

Tapi hati ini tak kunjung tenang. Sedangkan mulut dan tanganku terus saja gatal bertanya. Ada banyak mengapa dan bagaimana yang mengapung di kepala. Yang menuntut jawaban segera.

“Tunggu sebentar,,” katamu lewat jawaban-jawaban singkat seperlunya. “Aku sedang ingin mengobati luka”.

Aku bukan tak tahu apa salahku, hanya tak tahan dengan marahmu. Rasanya seperti siksa yang tak kunjung reda. “Berhentilah marah..” Pintaku lewat maaf yang terus diulang, layaknya putaran lagu di gramedia yang membuatmu sakit kepala.

“Tunggu sebentar,,” katamu lewat diammu yang membuatku terganggu. “Aku hanya butuh sedikit waktu”

Tapi aku sudah seperti ikan yang keluar dari habitatnya. Menggelepar kehabisan udara. Dan karena pendeknya kesabaran, aku menuntutmu untuk menyudahi marahmu segera.

“Tunggu sebentar,,” katamu lewat ruang hampa dibentangkan. “Pada waktunya semua akan kembali seperti biasa.”

Setiap luka akan kering, setiap bekas luka akan menghilang. Yang aku butuhkan hanya sedikit kesebaran menunggu waktu memulihkan segalanya.

Setiap marah akan reda, setiap sakit hati akan terlupa. Yang aku butuhkan hanya sedikit kesabaran. Membiarkannya sendiri bersama gulatan rasa tanpa dibisingkan dengan ratusan maaf dan tanya.

Aku tahu, tapi seringkali tak mau tahu. Bersabar sedikit saja aku tak mampu. Rasioku terlanjur kalah oleh egoku. Dan pundakku tak terbiasa menahan ketidaknyamanan yang mengganggu.

“Tunggu sebentar,,” kataku pada diriku. “Kau pasti bisa, jika mau mencoba”.

merawat persahabatan

Saya ini tipikal orang yang ‘mudah’ menemukan sahabat, sekaligus mudah melepaskannya. Di setiap tempat yang saya singgahi, meski jumlahnya tak banyak, selalu ada orang-orang yang lekat di hati.

Tapi saat saya mulai berpindah, maka berkesudahaan pula hubungan saya dan mereka. Awalnya dengan dalih sibuk, tak sempat berkabar2 ria.. Lalu jika sudah lama, alasan mulai berganti jadi ‘sungkan’, sudah terlalu jauh gap info yang membentang, yang berimbas pada percakapan yang canggung dan hambar (yang pastinya hanya menurut perasaan saya saja).

Mungkin karena saya ini orang yang terlalu fokus, pada masa kini, pada tempat dimana saya berpijak (sekaligus lingkungan sekeliling -saja-).

Atau kemungkinan besar lainnya, saya ini orang yg terlalu malas. Merawat hubungan itu melelahkan, untuk orang dengan pola hidup yang lempeng dan datar semacam saya. Mau curhat, apa juga yg mau dicurhatin, my live is so flat. Mau nanya kabar, terlalu klise,, dan kalau terus-terusan, jdi kriuk. Mau mengulik dia dan masalahnya, kok ya kepo bngt.

Dan begitulah setiap saya meneguhkan hati untuk merawat sahabat-sahabat lama saya, energi saya terkuras untuk menyiapkan topik pembicaraan. Belum lagi ketakutan akan penolakan atau perbincangan yg tidak menyenangkan dua orang yang saling kebingungan mencari bahan pembicaraan. Rasanya lebih menyenangkan jika kenangan terakhir yg kami punya adalah perbincangan tanpa akhir dua orang yang seolah tak pernah kehabisan kata. Tapi tentu saja itu pilihan pengecut dari seorang pemalas.

Seorang kawan saya begitu pandai merawat hubungan. Kadang saya tak habis pikir dengan energi berlebih yg dimilikinya terus berkabar dengan orang-orang sudah nun jauh di sana. Dan tentu saja, sya cukup tahu, tidak semua orang yang dia ‘kasihi’ membalas dengan hal yang sama. Ada yang merespon dg sangat baik, cukup baik bahkan tidak baik.

Pernah suatu saat saya bertanya : “apa kamu g capek ?”. Dan jawabnya : “sayang kalau sampai hilang”.

Saya harus belajar banyak darinya, karena buat saya merawat persahabatan adalah PR besar yang sampai kini belum terpecahkan.

Semoga saya bisa melawan malas, ketakutan tak beralasan, dan (pastinya) belajar mengikhlaskan niat. (Seharusnya) tidak penting bagaimana para sahabat lama akan merespon sikap (sok akrab) yang saya coba bangun. Karena menyambung silaturahmi itu perintah.

Dan mengutip perkataan seorang bijak : “ini bukan masalah saya dengan anda, tpi masalah saya dengan Tuhan saya”. Semoga.

gerimis PAGI

Gerimis pagi ini melurhkan angkuh,, bahwa pena telah diangkat dan ketetapan telah dipastikan.

Atas si pencemas, hanya ada satu pilihan, meluruh bersama kesadaran akan ketidakberdayaan.

Gerimis pagi ini membawa sejuk,, bahwa pena telah diangkat bersama tinta yang mengering.

Kerdil kuasa tak harus berarti rapuh, karna masih mungkin untuk bergantung kukuh pada Ia Yang Berjubah Angkuh.

Gerimis pagi ini membasahi hati,, bahwa pena telah diangkat dan skenario terhebat telah disiapkan.

Maka tiada yang lebih manis dari sabar, tiada yang lebih menenangkan dari iman, tiada yang lebih indah dari syukur.

Aku ridhlo Alloh Tuhanku, Muhammad Rasulku dan Islam agamaku.

closer

Beberapa saat setelah menikah, mungkin akan muncul perasan jika lelaki (perempuan) yang anda nikahi tidak sehebat, tidak setampan (secantik), tidak sebaik, tidak sesempurna lelaki (perempuan) yang sama yang anda kenal sebelumnya. Jika perasaan ini muncul, bukan berarti dia telah menipu anda, juga tidak bisa disimpulkan jika anda telah keliru dalam mengenali seseorang. Semua itu hanya masalah sudut pandang atau lebih tepatnya masalah jarak pandang.

Menikah itu menghapus jarak, dari ratusan meter atau bahkan puluhan km yang membentang dari rumahmu ke rumahku menjadi beberap cm yang memisahkan dua bantal dalam satu ranjang. Menikah itu menghapus batasan, dari tabunganmu dan tabunganku menjadi tabungan kita. Menikah itu meleburkan identitas, dari nona singgle nan independen menjadi nyonya yang terikat dan mengikat. Dari keluargamu dan keluargaku menjadi keluarga besar kita.

Konsekuensi paling logis dari jarak pandang yang menipis adalah terkuaknya segala aib. Dan itu wajar dan manusiawi. Jika anda lihat dari jarak ratusan meter, wajah seseorang akan tampak semulus porselen. Tapi jika jarak tersebut diperpendek, maka akan nampaklah kerutan-kerutan tipis, bekas jerawat, atau kekurangan lainnya. Bulan misalnya, jika kita lihat dari jauh nampak cantik mempesona. Tapi konon katanya jika dilihat lebih dekat permukaan bulan penuh lubang dan buruk rupa.

Maka jika kemudian anda menemukan banyak sekali kekurangan pada”nya” yang dulu nampak sempurna. It’s not about him/her, melainkan (seperti yg saya tuliskan sebelumnya) hanya masalah jarak pandang. Karena anda melihatnya lebih dekat dari jarak pandang yang anda gunakan untuk melihat orang kebanyakan. Sangat tidak adil jika hasil pengamatan dari jarak nol cm tersebut kemudian dibandingkan dengan hasil pengamat ratusan atau bahkan ribuan cm. Maka jika anda berkesempatan melihat orang lain dengan jarak sama, kemungkinan besar simpulan yang anda dapatkan akan tetap sama : He (She) is much better than others.

Sekedar konfirmasi, tulisan ini tidak dibuat untuk membesarkan hati saat kecewa menghinggapi.. :’). Melainkan nasehat dari seseorang yang merasa cukup lama menikah –guaya–, yang semoga saja berguna untuk para pemula yang mungkin spt sya, pernah dihinggapi syndrome cinderella, (berharap) menikah dengan pangeran tampan lalu hidup bahagia selama-lamanya. Saat satu saja kesalahan kecil muncul, seolah semuanya ikut hancur. Jangan seperti itu anak muda..–sok tua–. Lihatlah segalanya lebih dekat, maka engkau akan mengerti lebih bijaksana. (Cuplikan lagunya sherina.. Opo jal).

Tapi syukurlah saya menikah. Karenanya saya bisa keluar dari negeri dongeng untuk hidup sebenar-benarnya hidup, dan merasakan jenis kebahagiaan yang benar-benar hidup.

Happy marriage. Semoga menikah membuat anda tentram dan bertumbuh.

Tentang Masa

Tentang masa, yang berlalu, saat kita mau ataupun tak mau tahu.
Tentang masa, yang melaju, saat kita mengerti ataupun tak mau mengerti.
Tentang masa, yg berisi iri dengki, mimpi-mimpi, sesal dan khawatir.
Tentang masa, yang bahagia yang menderita, yang bergilir bagai roda.

Tentang masa, yang sejatinya hanya titian, atasnya kita bisa ‘sampai’, tersesat, atau terhenti.

Tentang masa, yang sejatinya hanya tipuan, atasnya kita bisa mengerti hakiki atau justru tenggelam dalam ilusi.

Tentang masa, yang sejatinya hanya ujian, atasnya kita bisa menang, merasa menang, atau dikalahkan.

Tentang masa, yang sejatinya hanya ‘masa’. Atasnya telah kita berlalu kisah-kisah orang terdahulu, atasnya akan dituliskan kisah-kisah yang hampir serupa.

Maka masa hanyalah ‘masa’, yang nilainya setara dengan pemahaman atasnya.

Maka semoga Alloh golongkan kami menjadi orang-orang yang berbaik sangka pada-Nya.